Sabtu, 26 Desember 2009

Akreditasi Sekolah
Badan Akreditasi Sekolah (BAS) adalah sebuah badan yang berhak memberikan penilaian kepada sekolah-sekolah. Ini adalah salah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini, yang dari tahun ke tahun terus merosot. Meskipun seruan peningkatan mutu pendidikan bukan barang baru, ada semangat positif dari kebijakan.
Berbeda dengan sistem penilaian dahulu, di mana yang dinilai hanya sekolah swasta untuk mendapatkan predikat disamakan atau diakui, kini sekolah negeri pun dinilai untuk mendapatkan predikat terakreditasi. Di tengah menggebunya semangat meningkatkan mutu pendidikan kita, ada sesuatu yang perlu diingatkan kembali di sini.
Setidaknya ada dua pertanyaan pokok yang muncul di sini. Pertama, bagaimana kebijakan ini bisa sejalan dengan semangat pemerintah menyerukan otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah? Kedua, bisakah penilaian yang dilakukan tim assessor objektif?
Sentralisasi Vs Otonomi
Ini isu penting yang perlu didiskusikan dalam konteks akreditasi sekolah karena dua kata tersebut sama-sama sebagai produk pemerintah. Sentralisasi memberi penekanan kuat pada peran pemerintah mengawasi dan menilai mutu sebuah sekolah. Sebaliknya, otonomi adalah semangat dari bawah untuk mengatur, mengawasi dan menilai mutu sekolahnya sendiri.
Dalam semangat manajemen berbasis sekolah dan menajemen kualitas total (total quality management), kata "sendiri" bukan hanya sekolah itu saja, melainkan masyarakat setempat di mana mereka adalah pengguna utama jasa suatu lembaga pendidikan. Kebijakan akreditasi sekolah merupakan kebijakan di mana peran mengawasi dan menilai diambil alih pemerintah. Tim assessor sekolah merupakan perpanjangan tangan pemerintah untuk mengawasi dan menilai mutu sebuah sekolah. Tidak bisa tidak, hal ini akan berbenturan dengan semangat yang kedua, di mana semangat tersebut memberi keleluasaan dan kebebasan sebuah sekolah mengurus dirinya sendiri, termasuk menerapkan kurikulum yang sedikit berbeda. Pemerintah dalam hal ini hanya sebagai fasilitator, bukan sebagai assessor. Kini dan ke depan, semangat kedua ini yang justru harus didorong dan dikembangkan. Yang akan menilai sebuah sekolah itu bermutu atau tidak adalah masyarakat sebagai pengguna utama lembaga pendidikan.
Apabila argumentasi pemerintah menerapkan kebijakan ini adalah terjaminya mutu pendidikan secara nasional, muncul pertanyaan, "Mutu seperti apa yang ingin dibangun?" Ada pemahaman yang sering tidak pas tentang istilah tersebut.
Istilah mutu banyak dikaitkan pencapaian siswa (student achievement), yang lebih identik dengan nilai yang bagus. Dalam pandangan umum, sebuah sekolah dikatakan bermutu apabila siswanya mampu mendapatkan nilai tinggi di setiap ujian, baik ujian sekolah maupun nasional. Sekolah tersebut lantas diberi predikat sekolah yang bermutu.
Nilai bagus tersebut sesungguhnya karena siswanya memang pintar. Dalam pandangan sekolah yang modern (baca: menerapkan kurikulum dan manajemen berbeda), yang menginginkan otonomi pendidikan, pandangan tentang mutu sebuah sekolah sering berbeda dengan pandangan di atas. Mutu pendidikan lebih dilihat upaya memperlakukan siswa menjadi lebih manusiawi (baca: memanusiakan manusia).
Pandangan semacam ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kurikulum, metode pengajaran, serta pola interaksi guru dan murid yang diterapkan di sekolah yang bersangkutan. Sekolah semacam itu sering memerlukan kriteria penilaian yang berbeda. Kenyataannya, ada banyak sekolah yang mencoba menerapkan kurikulum dan metode pembelajaran yang berbeda.
Dalam hal ini tim asesor harus benar-benar menyadari pemerintah ingin meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk mengurus, mengawasi dan menilai sendiri mutu sekolahnya, melalui otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah.
Objektivitas Penilaian
Isu ini tidak kalah penting untuk dibicarakan. Objektivitas instrumen penilaiannya tidak diragukan. Dalam draf Badan Akreditasi Sekolah Nasional (Basnas) terdapat sembilan komponen yang akan dinilai dan itu sudah menyangkut hampir semua aspek yang perlu diperhatikan lembaga pendidikan. Sembilan komponen penilaian itu adalah :
1.Proses belajar mengajar dan kurikulum
2.Ketersediaan sarana pendidikan
3.Ketenagaan, mencakup guru dan staf tata usaha
4.Pembiayaan
5.Manajemen yang diterapkan
6.Kesiswaan
7.Partisipasi masyarakat
8.Kelembagaan atau organisasi
9.Kultur sekolah dalam mendorong suasana kondusif untuk belajar. ()
Yang perlu didiskusikan di sini adalah menyangkut sumber daya manusia dari tim assessor itu sendiri. Apakah tim assessor sungguh lebih memahami mengenai mutu sekolah daripada sumber daya manusia di lembaga pendidikan itu sendiri. Jangan sampai terjadi dahulu ketika sekolah-sekolah swasta dinilai mendapatkan predikat disamakan atau diakui.
Waktu itu semangat yang berkembang adalah sekolah swasta lebih bermutu daripada sekolah negeri mana pun. Lantas sekolah tersebut disamakan dengan sekolah mana? Untunglah pemerintah menyadari keadaan ini, di mana banyak negeri mutunya justru lebih rendah daripada sekolah-sekolah swasta.
Objektivitas penilaian juga menyangkut masalah klasik, yaitu soal KKN. Tidak bisa tidak, semua sekolah berlomba mendapatkan predikat "terakreditasi A", terutama berkaitan gengsi dan nilai jual sebuah sekolah di mata masyarakat. Ini rawan terhadap kecurangan untuk mendapatkan predikat tersebut.
Tim assessor dapat mudah tergoda dengan sejumlah iming-iming dari sekolah yang tidak ingin mendapatkan predikat C karena sebagai akibatnya sekolah tersebut tidak boleh mengadakan ujian sendiri dan menerbitkan ijazah sendiri. Atau sebaliknya, tim assessor menerapkan kriteria tambahan, semacam kesepakatan-kesepakatan di luar kriteria yang resmi, agar tidak mendapatkan predikat C.
Hal ini tidak jauh berbeda dengan situasi akreditasi terhadap perguruan tinggi swasta yang terjadi kini. Gejala ini dapat mewabah ke sekolah-sekolah untuk berlomba mendapatkan predikat A dengan tidak melalui prosedur yang benar. Alhasil akreditasi sekolah hanya menjadi sebuah lelucon baru dalam kancah pendidikan kita, meskipun tujuannya bagus.
Melibatkan Masyarakat
Pemerintah tidak bisa setengah-tengah dalam menerapkan kebijakan ini. Apabila benar-benar ingin meningkatkan mutu pendidikan di negeri ini, harus berani mengambil risiko berbenturan dengan seruan pemerintah sendiri untuk menghidupkan semangat otonomi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah.
Pemerintah tidak cukup kalau hanya menetapkan kriteria, melatih tim assessor, pengawas, dan kepala sekolah. Pemerintah perlu menilai dan mengawasi tim assessor itu sendiri. Pengalaman di Indonesia menunjukkan bukannya sistem yang lemah, tetapi manusianya yang lemah. Ambil contoh, bank-bank kita yang sampai sekarang terus dibobol dengan melibatkan orang dalam, meskipun sistem dalam bank tersebut sudah bagus.
Sudah saatnya penilaian sekolah perlu melibatkan lembaga-lembaga indenpenden seperti PGRI, LSM, dan wakil masyarakat. Jadi, bukan hanya dilakukan Badan Akreditasi Sekolah (BAS). Mekanismenya dengan meminta tokoh-tokoh yang benar-benar ahli menjadi tim assessor. Jadi tim assessor bukan hanya terdiri dari unsur pemerintah. Hal ini untuk menghindari pemahaman sempit tim assessor dalam memahami mutu pendidikan dan menerjemahkan kriteria penilaian serta menghindarkan kecurigaan masyarakat terhadap objektivitas proses penilaian.

http://www.e-smartschool.com/sptPendidikan/artikel14.asp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar